Total Tayangan Halaman

01/12/14

MENENTUKAN EFISIEN, EKONOMIS, DAN EFEKTIF OPERASI



MENENTUKAN EFISIEN, EKONOMIS, DAN EFEKTIF OPERASI

A.                M-Audit
M-audit dapat kita definisikan sebagai pemeriksaan atas suatu kegiatan tertentu yang terdapat di dalam organisasi dan memiliki tujuan guna menentukan efisiensi atau ekonomi operasi, dan audit berulang yang jarang terjadi. M-audit berberbeda dari pemeriksaan laporan keuangan. Sehingga setiap fase audit manajemen perlu dibandingkan dengan pemeriksaan laporan keuangan.
Terdapat pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki auditor dalam melakukan pemeriksaan yaitu :
·         Jumlah uang yang diterima dan dibelanjakan, dimana semakin besar jumlah uang tersebut semakin perlu perperbaikan dalam cara membelanjakan uang tersebut.
·         Bunga eksekutif, dimana eksekutif sering memiliki pandangan yang lebih baik dari operasi dari auditor.
·         Bunga legislative, dimana komite legislatif atau Audit mungkin mempertimbangkan untuk mereview pengaruh langsung area yang dipertimbangkan untuk pemeriksaan oleh auditor.
·         Persyaratan hukum, dimana hukum bersifat khusus dalam hal persyaratan untuk membuat pemeriksaan
·         Pengetahuan pribadi Auditor, dimana auditor bekerja pada sebuah lembaga  dan memiliki pengetahuan.
·         Pertimbangan lain, seperti perhatian publik , bunga yang didapat dewan direksi.
·         Permintaan untuk proposal, dimana sering sekali CPA dan konsultan manajemen masuk ke suatu daerah karena permintaan dari suatu proposal untuk melakukan pemeriksaan.
Setelah daerah pemeriksaan ditentukan, auditor dapat memperoleh informasi umum entitas. Auditor akan mewawancarai pejabat yang bertanggung jawab dan karyawan di semua tingkat kegiatan atau organisasi. Auditor juga akan memproleh dokumen yang meliputi anggaran dan informasi operasi. Kemudian, auditor akan melakukan pengamatan meliputi memeriksa sifat fisik, melihat bagaimana suatu kegiatan sebenarnya dijalankan, dan menemukan kekurangan dalam operasi. Kebanyakan M-audit adalah mereka yang mengarah ke kekurangan dalam segi operasi.

Tinjauan dan pengujian kontrol manajemen dari M-audit
Untuk menetapkan tujuan audit, diperlukan review dan pengujian pengendalian manajemen. Untuk melakukan hal ini, auditor harus memperoleh bukti yang kompeten, relevan, dan material, Auditor juga menguji transaksi dalam sistem pengendalian manajemen. Sehingga kelemahan yang ada di organisasi dan penyebabnya dapat diketahui. Evaluasi sistem pengendalian control juga bertujuan menentukan kompetensi bukti yang berasal dari sistem secara keseluruhan.
            Cara menentukan sistem pengendalian manajemen apakah sudah baik atau belum adalah dengan menetapkan standar, tujuan, sasaran, atau prosedur organisasi, menentukan apakah standar, tujuan, sasaran, atau prosedur telah dilakukan, menilai hasil dari pemeriksaan, dan terdapat pengambilan tindakan korektif. Sedangkan pendekatan dasar untuk meninjau sistem pengendalian manajemen untuk M-audit adalah dengan meninjau prosedur dan praktek yang digunakan untuk transaksi. Dengan menelusuri transaksi tertentu dari awal sampai akhir seperti yang dijelaskan, auditor akan memiliki bukti pada audit dan dapat menentukan apakah temuan tersebut akan cukup signifikan.

Fase Fungsi Audit untuk M-Audit, berdasarkan proses
1.      Survey awal
§  Mendapatkan latar belakang serta informasi dan manajemen aktivitas umum yang akan dipertimbangkan untuk pemeriksaan dalam waktu yang singkat.
§  Menganalisis latar belakang dan informasi umum tersebut sehingga diperoleh bukti yang relevan.
§  Menegaskan elemen lain yang memiliki tujuan tentative M-audit.
§  Kriteria alternative objektif dan elemen lainnya ditegaskan pada kegiatan manajemen untuk membangun kemungkinan tujuan M-audit.
§  Tujuan alternatif harus dipertimbangkan untuk mendapatkan bukti yang relevan, jika misal tidak ada bukti yang telah diperoleh sebelumnya, pada satu atau lebih elemen tujuan audit dimungkinkan untuk mendapatkan alternatif tentatif M –audit.
§  Merangkum bukti dan pernyataan pada tujuan M-audit tentative.
§  Menyimpulkan bukti dan pernyataan yang dirangkum secara relevan:
§  Bahwa tujuan M -audit  dapat digunakan untuk tahap review jika bukti kompeten, relevan , dan material diperoleh pada ketiga unsur tujuan tentatif , dan untuk mengetahui jenis materi apa yang relevan dan bukti apa yang kompeten yang akan diperlukan untuk menentukan tujuan audit serta berapa banyak bukti yang akan dibutuhkan untuk menentukan kompetensi bukti.
§   Bahwa tujuan tentatif tidak dapat digunakan karena bukti tidak tersedia atau terdapat kondisi yang tidak menjamin untuk dilanjutkan .
2.      Tinjauan dan pengujian pengendalian manajemen
§  Mendapatkan informasi mengenai latar belakang tambahan yang diperlukan.
§  Mendapatkan bukti yang relevan, material, dan kompeten untuk menentukan:
-          Mungkin ada kriteria yang masuk akal
-          Terdapat  beberapa individu dan kelompok yang memiliki tanggung jawab lebih dari satu sehingga menyebabkan operasi berjalan tidak efisien.
-          Bahwa terdapat efek dari operasi yang tidak efisien yang signifikan.
§  Mendapatkan bukti dari sistem pengendalian manajemen yang berasal dari sistem kerja.
§  Menentukan bukti yang tidak dapat diperoleh pada ketiga unsur tujuan M-audit tentatif.
§  Merangkum bukti dan menyimpulkan:
-          Apakah tujuan M-audit tentatif yang dikembangkan bisa menjadi tujuan perusahaan.
-          Apakah bukti yang harus diperoleh akan kompeten
-          Apakah bukti tambahan harus diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan pada tujuan audit. Kemudian lanjutkan ke pemeriksaan rinci, atau Auditor itu harus menarik diri dari pemeriksaan.
3.      Detail Pengujian
§  memperoleh data latar belakang tambahan yang dibutuhkan.
§  memperoleh bukti yang cukup kompeten, material, dan relevan.
§  meringkas bukti dalam hal kriteria, penyebab, dan efek
§  membuat kesimpulan dari bukti diringkas bahwa efek dalam kegiatan manajemen yang tidak efisien signifikan ketika tindakan emloyees dan manajemen dievaluasi. lanjutkan untuk melaporkan perkembangan.
§  menyimpulkan bahwa bukti safficient tidak dapat diperoleh untuk menentukan kriteria yang sesuai pada kegiatan manajemen atau terdapat kondisi lain yang menjamin bahwa auditor harus menarik diri dari keterlibatan.
4.      Pengembangan laporan
§  mengatur adegan lewat latar belakang atau informasi umum atau lingkup audit.
§  Mengkomunikasikan kesimpulan, menyatakan pentingnya efek yang disebabkan oleh tidak mengikuti standar yang tepat. bukti harus diberikan.
§  Rekomendasi negara, bahwa kriteria harus diikuti di masa depan untuk mendapatkan hasil terbaik

B.                 P-audit
            Auditor di dalam P-audit, menentukan apakah organisasi yang bertanggung jawab untuk program telah memperoleh sasaran yang diinginkan. Sehingga, jika biaya yang terangkat dengan pendapatan atau keuntungan, auditor harus menentukan apakah biaya setimpal dengan pendapatan dan manfaat. Keuntungan dilihat dari nilai dollar. P-audit juga peduli dengan seberapa efektif organisasi dalam melaksanakan tujuannya dalam hal selain nilai dolar, yaitu dengan mengukur dari standar lain yang sesuai dengan tujuan.
            Pendekatan P-audit sama dengan empat fase untuk mengidentifikasi M-audit. Program ini, dapat dilakukan juga oleh organisasi yang tidak terkait langsung dengan tanggung jawab mengenai tujuan organisasi apa yang telah diperoleh. Di P-audit, auditor harus sering pergi ke luar kantor untuk menentukan manfaat atau tindakan  efektivitas lainnya yang terkaitan dengan biaya.

Tinjauan dan pengujian kontrol manajemen untuk P-audit
            Peninjauan tujuan dan pengujian kontrol manajemen untuk P-audit, lebih kompleks daripada untuk M-audit. Hal tersebut karena untuk menetapkan tujuan audit tentatif, auditor harus menentukan program objektif dalam rangka menetapkan kriteria yang terukur. Selain itu, program ini biasanya tidak dilakukan oleh satu unit organisasi, sehingga auditor harus mempertimbangkan penyebab dari beberapa unit kecuali penyebabnya dapat dievaluasi perusahaan.
            Sistem program yang terdiri dari banyak unit dalam penentuan kualitas sistem pengendalian manajemen dan informasi dapat menyebabkan auditor bermasalah dalam menentukan kompetensi bukti. Karena kontrol manajemen yang buruk di unit lain, bukti mungkin tidak dapat diandalkan

Fase Fungsi Audi untuk P-audit, berdasarkan Proses
1.      Survei Pendahuluan
§  mendapatkan latar belakang  dan informasi umum mengenai program dan sistem manajemen secara singkat.
§  Menganalisis latar belakang dan informasi umum tentang program dan sistem manajemen sehingga diperoleh bukti yang relevan.
§  Menegaskan elemen  lainnya untuk memiliki tujuan P-audit tentatif pada efektivitas program.
§  meringkas bukti dan pernyataan.
§  menyimpulkan bukti dan pernyataan.
2.      Meninjau dan Menguji control manajemen
§  memperoleh informasi mengenai latar belakang tambahan yang diperlukan.
§  memperoleh bukti yang relevan, maerial, dan kompeten pada tentatif (bukti mungkin harus diperoleh dari penggunaan auditor, teknik analisis atau dari para ahli).
§  memperoleh bukti yang harus diperoleh jika ada pekerjaan tambahan.
§  menentukan bukti yang tidak dapat diperoleh pada tiga elemen dari tujuan tentative.
§  meringkas bukti dan membuat kesimpulan.
3.      Pengujian Detail
§  memperoleh data tentang latar belakang tambahan yang dibutuhkan
§  memperoleh bukti yang relevan, material, dan kompeten yang cukup pada tujuan audit
§  menentukan bahwa bukti yang cukup tidak dapat diperoleh kriteria. Melainkan bukti dapat diperoleh pada sebab dan akibat, mempertimbangkan tahap pemeriksaan rinci M-audit
§  meringkas bukti P-audit dalam hal kriteria, penyebab, dan efek.
§  menyimpulkan bahwa terdapat efek yang signifikan ketika tindakan dievaluasi terhadap kriteria P-audit. prooceed untuk melaporkan perkembangan, atau
§  menarik diri dari keterlibatan
4.      Pengembangan laporan
§  mengatur adegan melalui latar belakang data atau ruang lingkup pemeriksaan
§  mengkomunikasikan kesimpulan yang telah  dikembangkan selama fase pemeriksaan rinci. Termasuk bukti yang cukup relevan, material, dan kompeten serta efek untuk meyakinkan pembaca.
§  memberikan recommendation untuk tindakan di masa depan oleh satu atau lebih tingkat sistem manajemen

TUGAS PKM-AI KELOMPOK (STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL)



STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR
DI INDONESIA
DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL


unduhan.jpg
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
Analisis Ilmiah
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Tugas Perekonomian Indonesia Kelas F

Dosen:
Achma Hendra Setiawan, S.E., M.Si.
Drs. H. Edy Yusuf Agung Gunanto, MSc. Ph.D.


Disusun Oleh:
I Dewa Ayu Intan Pradnyadari                     12030111120018
Amalia Nurul Iman                                        12030111130045
Julietta Sundalia                                            12030111130173
Debra Yulita Perwira                         12030111140248
Wimala Nisitasari                                          12030111140262



FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
unduhan.jpg
USULAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL

BIDANG KEGIATAN:
PKM-AI


Disusun Oleh:
I Dewa Ayu Intan Pradnyadari                     12030111120018
Amalia Nurul Iman                                        12030111130045
Julietta Sundalia                                            12030111130173
Debra Yulita Perwira                         12030111140248
Wimala Nisitasari                                          12030111140262



FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014






STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Amalia Nurul Iman, Debra Yulita Perwira, I Dewa Ayu Intan Pradnyadari, Julietta Sundalia, Wimala Nisitasari
Jurusan Akuntansi. Universitas Diponegoro, Semarang.

ABSTRACT

The existence of global industrial competition makes manufacturing industries in Indonesia are now a lot of difficulties because there is no protection of the Government. Therefore, manufacturing industry in Indonesia must have specific strategies and policy development of manufacturing industry. This research use secunder method with 30 random sample of manufacturing industry in Semarang City. Of research obtained that there were several factors that make the manufacturing industry in Indonesia has not been optimized and not ready in global competition, among them high overhead costs; very high import content; the low quality of human resources; as well as the lack of mastery of the technology. Manufacturing industry in indonesia in the future is expected to create a variety of national standardization development programme that can raise its competitiveness national product, creating and apply a program to improve the ability of industrial technology, management of the industrial structure, to increase the capacity of infrastructure, optimalization the administration and incentives taxation.
Key word: manufacturing industry, global competition, technology.

ABSTRAK

Adanya persaingan industri secara global membuat industri manufaktur di Indonesia kini banyak mengalami kesulitan karena tidak diimbangin dengan perlindungan pemerintah. Oleh karena itu industri manufaktur di Indonesia harus memiliki strategi-strategi khusus dan kebijakan pengembangan industri manufaktur. Penelitian ini menggunakan metode sekunder dengan menggunakan sampel acak 30 industri manufaktur di kota Semarang. Dari penelitian ini diperoleh bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan industri manufaktur di Indonesia belum optimal dan belum siap dalam menghadapi persaingan global, diantaranya biaya overhead yang tinggi; kandungan impor yang sangat tinggi; rendahnya kualitas SDM; serta kurangnya dalam penguasaan teknologi. Industri manufaktur di Indonesia ke depannya diharapkan mampu menciptakan berbagai program pengembangan standarisasi nasional yang dapat meningktakan daya saing produk nasional, menciptakan dan menerapkan program peningkatan kemampuan teknologi industri, penataan struktur industri, peningkatan kapasitas infrastruktur, serta optimalisasi administrasi dan insentif perpajakan.
Kata kunci: industri manufaktur, persaingan global, teknologi.        

PENDAHULUAN
            Industri yang sering mendapatkan perhatian di Indonesia adalah industri manufaktur karena jumlah industri ini paling dominan dibandingkan industri perdagangan maupun industri jasa. Oleh karena itu industri ini diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan di pemerintah. Selain itu, industri manufaktur juga menyerap banyak tenaga kerja sehingga angka pengangguran di Indonesia juga semakin berkurang. Namun, perekonomian yang bersifat global menyebabkan industri manufaktur dipaksa untuk bersaing dengan industri lain di luar negeri tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Di satu pihak hal ini menguntungkan karena dengan persaingan, industri di Indonesia akan semakin kreatif dalam melakukan inovasi produk. Tapi di sisi lainnya, persaingan ini dapat merugikan industri-industri kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Kurang kondusifnya lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004, posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34. Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina (urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga menerbitkan World Competitiveness Report 2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan Venezuela (60).
 Untuk mengatasi permasalahan tersebut, industri di Indonesia mau tidak mau harus meningkatkan kemampuan bersaingnya agar tidak kalah saing dengan industri asing, sehingga dibutuhkan strategi-strategi khusus dan kebijakan pengembangan industri manufaktur. Selain itu analisis industri dan persaingan juga diperlukan agar industri manufaktur ini dapat tetap survive di tengah kerasnya persaingan global. Caranya adalah melakukan inovasi-inovasi produk berdasarkan ide-ide kreatif yang mereka miliki. Berkaitan dengan persaingan tersebut, ada sejumlah permasalahan yang dihadapi, antara lain: (i) bagaimana industri manufaktur di Indonesia menghadapi persaingan global yang semakin lama semakin ketat, (ii) bagaimana profil daya inovasi industri manufaktur di Indonesia dalam menanggapi kondisi yang sangat kompetitif ini.

TUJUAN
Berdasarkan permasalahan diatas adapun tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini antara lain menganalisis bagaimana industri manufaktur menghadapi persaingan global yang semakin lama semakin ketat dan menganalisis bagaimana profil daya inovasi industri manufaktur dalam menanggapi kondisi yang sangat kompetitif ini
Manfaat yang diharapkan adalah sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri manufaktur di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi manajer, pemilik perusahaan, karyawan, dan pemerintah dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat agar industri tersebut tidak kalah saing dengan industri asing lainnya.

METODE
A.     Tipe Penelitian, Populasi dan Target Populasi
1.      Tipe Penelitian
      Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi. Penelitian deskripsi adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada. Baik fenomena yang terjadi secara alami maupun fenomena yang terjadi karena buatan manusia.
2.      Populasi Penelitian
      Populasi di penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur di kota Semarang. Perusahaan manufaktur dipilih karena perusahaan ini paling dominan di Indonesia dan menjadi roda penggerak kegiatan ekonomi di Indonesia. Selain itu, perusahaan manufaktur juga paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan industri lainnya.
3.      Sampel Penelitian
      Untuk sampel penelitian, kami menggunakan sampling acak yaitu dengan memilih secara acak 30 perusahaan manufaktur di kota Semarang. Pemilihan dengan acak ini agar memberikan kesempatan kepada semua anggota populasi untuk terpilih menjadi sampel.
B.     Kerangka Konseptual
Dalam menganalisis daya saing pada industri di Indonesia terhadap persaingan global, diperlukan beberapa inovasi yang harus dilakukan. Yang pertama adalah inovasi terhadap sumber daya dan komunikasi yang ada di perusahaan. Yang kedua adalah toleransi terhadap kegagalan, risiko, konflik dan lain sebagainya. Sedangkan yang ketiga adalah inovasi mengenai sumber daya manusia, keamanan kerja, dan karyawan yang memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi.
C.     Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) baik yang dipublikasikan maupan yang tidak dipublikasikan.
D.     Analisis Data
Analisis data di penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yang dilakukan adalah tahap preliminary survey yang dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tujuan menggali sebanyak-banyaknya fakta yang berkaitan dengan dengan strategi industri manufaktur dalam menangani persaingan global. Tahap kedua adalah eksplorasi yang dilakukan untuk mengenal dan mengelompokkan sekelompok indikator menjadi faktor. Sedangkan tahap terakhir adalah tahap konfirmasi.
E.      Jadwal Kegiatan Penelitian
1.      Tahap desain instrumen penelitian (kerangka pemikiran) : minggu ke-1 bulan Mei 2014
2.      Tahap pencarian data: studi dokumen, training surveyor, wawancara: minggu ke-1 sampai minggu ke-2 bulan Juni 2014
3.      Tahap analisis: inputing data, analisis data, analisis penelitian dan pelaporan: minggu ke-3 bulan Juni 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam kurun waktu 1996-2006 jumlah industri berskala sedang dan besar cenderung terus meningkat. Jumlah perusahaan pada industri manufaktur secara keseluruhan sempat mengalami penurunan dalam masa krisis 1997/1998, namun setelahnya secara bertahap cenderung meningkat kembali. Dilihat dari skala usaha, sekitar 70% dari perusahaan yang ada tersebut termasuk dalam kategori industri sedang. Selain itu, sejak tahun 2004 rasio perusahaan industri berskala besar terhadap keseluruhan jumlah industri juga terus menurun, sejalan dengan semakin meningkatnya rasio industri sedang. Bila dilihat dari komposisinya, industri makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, dan furnitur mendominasi jumlah perusahaan dalam industri. Lebih dari 50% dari industri besar dan sedang adalah industri yang bergerak di empat golongan industri tersebut.
Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja nasional memang masih relatif rendah (Tabel 3.1). Distribusi penyerapan tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (41%) dan sektor jasa seperti perdagangan (21%), pengangkutan (6%) dan jasajasa lain (12%). Sementara itu, pangsa sektor industri manufaktur cenderung stagnan, dan bahkan cenderung berada dalam tren menurun. Apabila dilihat dari nilai output yang dihasilkan oleh keseluruhan industri manufaktur yang berskala besar dan sedang, secara umum terlihat kinerja industri pascakrisis masih di bawah prakrisis. Rata-rata pertumbuhan output pada periode prakrisis (1991-1995) mencapai sekitar 22%, sementara pada periode pascakrisis (2002- 2006) baru mencapai sekitar 12%. Dilihat dari pangsa terhadap keseluruhan nilai produksi, penyumbang terbesar nilai output adalah industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, logam, karet dan barang plastik, serta industri kendaraan roda empat.
Apabila dilihat dari sisi nilai tambah, gambaran yang diperoleh hampir serupa dengan perkembangan nilai output, dimana pertumbuhan nilai tambah periode pascakrisis masih lebih rendah dari pertumbuhan prakrisis.5 Dilihat dari jenis industrinya, penyumbang terbesar dalam nilai tambah adalah industri makanan dan minuman, tembakau, tekstil, kertas, dan industri bahan kimia.
Gambaran kinerja industri manufaktur untuk kawasan Asia Timur dapat diperhatikan dalam tabel berikut ini.
Kinerja Industri Manufaktur Kawasan Asia Timur 1980 – 2000
(dalam peringkatnya dari 93 negara di dunia)
No.
Negara
Tahun 2000
Tahun 1990
Tahun 1980
1
Singapura
1
1
2
2
Taiwan
9
15
18
3
Korea Selatan
10
18
23
4
Malaysia
15
23
40
5
Thailand
23
32
47
6
Cina
24
26
39
7
Filipina
25
43
42
8
Hongkong, SAR
27
20
16
9
Indonesia
38
54
75
11
Fiji – Pasifik
68
61
52
12
Papua New Guinea
82
76
80
Sumber: UNIDO, Industri Development Report 2004
Gambaran yang diungkapkan oleh UNIDO memang baru sampai pada tahun 2000. Memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian dan terpuruknya kegiatan sektor produksi, kemungkinan besar peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah tahun 2000. Memang, perbaikan dalam kondisi ekonomi makro telah terjadi sejak dua tahun terakhir, namun prestasi di atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi, terutama manufaktur ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan daya saingnya.
Dalam periode 1980-2000 kinerja industri manufaktur Indonesia dikategorikan sebagai salah satu pemenang utama (main winner) bersama-sama dengan beberapa negara negara berkembang lain yang kebanyakan dari kawasan Asia Timur. Dalam periode dua dekade tersebut, kawasan Asia Timur memang merupakan kawasan yang disebut sebagai mesin pertumbuhan bagi peningkatan peran negara berkembang dalam pengembangan industri manufaktur. Di antara negara-negara berkembang, Cina adalah pemenang nomor wahid. Sementara itu, peringkat kinerja industri manufaktur Indonesia memang meningkat dari urutan ke-75 pada tahun 1980, menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur (termasuk ASEAN), posisi Indonesia memang relatif terpuruk.
Terpuruknya daya saing tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolak ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a) tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasikebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam rangka dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat.
Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya,
(c) lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Dalam rentang waktu yang lebih lama, United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mengembangkan indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP) yang kemudian diterapkan untuk mengukur peringkat daya saing sektor industri manufaktur pada terutama 93 negara dalam periode 1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004, ukuran indikator CIP tersebut terdiri dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manuktur per kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) insensitas industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor industri manufaktur, dan (d) kualitas eskpor yang diukur dari kontribusi ekspor manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.
Di dalam negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing dengan produk impor, baik yang legal apalagi yang tidak legal. Di pasar internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih menjadi primadoma eskpor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi, dari hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.
Penelaahan terhadap tingginya kedua pos pembiayaan di atas menyimpulkan beberapa permasalahan spesifik di sektor industri manufaktur, yaitu sebagai berikut:
a.       KKN dan layanan umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan umum menambah biaya overhead sekitar 8.7 persen - 11.2 persen.
b.      Cost of money yang relatif tinggi. Banyak pengusaha masing menganggap tingkat suku bunga saat ini sangat tinggi. Pengusaha dalam negeri yang mengandalkan perbankan dalam negeri akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya dari luar negeri yang bunganya berkisar 4 – 6 persen.
c.       Administrasi perpajakan yang belum optimal. Pengusaha menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya membebankan ke harga jualnya. Selain itu, hal tersebut juga tidak kondusif untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada umumnya mereka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak awal tidak berurusan dengan PPN 10 persen.
d.      Kandungan impor sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.
e.       Lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif rendah, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik industri manufaktur masih banyak tipe “tukang jahit,” seskipun dalam komposisi ekspor telah diamati mulai adanya peningkatan proporsi produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi. Kehadiran foreign direct investment (FDI) yang mempunyai potensi sebagai basis untuk alih teknologi belum dapat dimanfaatkan.
f.        Kualitas SDM relatif rendah. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894 perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen atau berpendidikan sarjana, sekitar 0,1 persen berpendidikan master, dan hanya 225 orang berpendidikan doktor. Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan kualitas ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas yang dituntut apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.
g.       Iklim persaingan yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati ”monopoli”. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya indeks konsentrasi untuk dua perusahaan (CR2). Pada tahun 2002, lebih dari 50 persen kelompok usaha industri memiliki angka diatas 0,50 dan banyak kelompok industri yang angka konsentrasi yang makin besar. Beberapa contoh adalah pada industri tepung terigu, rokok putih, dan kendaraan roda 2. Keadaan ini menyebabkan insentif untuk penurunan biaya produksi menjadi kecil.

Peningkatan daya saing industri manufaktur juga tergantung dari kondisi struktural sektornya. Pada umumnya, struktur industri masih lemah. Sebagian besar industri nasional umumnya memiliki struktur industri yang dangkal. Sementara itu, peranan industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Industri berskala menengah (20-99 orang tenaga kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja), dan industri rumah tangga (1 – 4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja manufaktur di Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini menyumbang hanya 5-6 persen dari total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di sub-sektor makanan dan kayu. Industri-industri pada segmen ini umumnya melayani konsumer akhir atau memproduksi komponen untuk ”after sales market”, dengan segmen kelas terendah. Sangat sedikit diantara mereka yang memproduksi bahan baku dan/atau barang intermediate serta memasoknya ke industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar.
Pada tingkat makro, peningkatan kinerja daya saing industri manufaktur secara berkelanjutan membutuhkan landasan ekonomi yang kuat melalui terutama upaya menjaga stabilitas ekonomi makro serta perwujudan iklim usaha dan investasi yang sehat. Kondisi tersebut akan memfasilitasi terciptanya inovasi dan peningkatan produktivitas serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih luas dan dapat dijangkau sampai pada segmen sektor industri manufaktur yang kecil sekalipun.
Dalam tataran mikro, meminjam identifikasi UNIDO, 4 (empat) faktor utama yang perlu diperhatikan di dalam meningkatkan kinerja daya saing sektor industri manufaktur adalah: (a) kemampuan (ketrampilan) SDM, (b) penguasaan dan penerapan teknologi, (c) aliran masuk FDI sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, dan (d) kapasitas infrastruktur (termasuk infrastruktur bagi pengembangan teknologi). Keempat faktor di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kebijakan dan program yang dirumuskan dalam Bab-Bab yang terkait.
Dalam lima tahun mendatang, arah pengembangan sektor industri manufaktur adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitasi kapasitas; memperluas basis usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan dan penyelenggaraan usaha untuk peningkatan peran industri kecil dan menengah; meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan; memperluas penerapan standarisasi produk industri; dan mendorong perkuatan struktur industri pada sub-sektor yang memiliki potensi keuntungan kompetitif ke depan.
Dengan semakin ketatnya persaingan global dan semakin pesat dan spesifiknya perkembangan teknologi, kualitas kebijakan industri dituntut lebih baik dan lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan rumusan strategis dan kebijakan pengembangan industri manufaktur pada tingkat sub-sektor. Sesuai dengan permasalahan yang mendesak dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya, prioritas pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan ditetapkan pada sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4) mengolah sumber alam dalam negeri. Langkah-langkah intervensi pada tingkat sub-sektor tetap bersifat fungsional sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya.
Pola pengembangan jaringan produksinya didekati dengan menggunakan unit analisis klaster industri. Adapun untuk masing-masing sub-sektor industrinya, penanganan isunya diprioritaskan pada upaya: (1) merevitalisasi kinerja sub-sektor industrinya, khususnya peningkatan utilitas kapasitas terpasang hingga 80 persen; (2) memperkuat struktur industri, termasuk di dalamnya pemberdayaan sumberdaya industri; (3) memperluas basis produksi, baik dengan mendorong terciptanya investasi baru maupun mendorong pengembangan industri skala kecil-menengah; serta (4) mempertahankan dan bila mungkin bahkan meningkatkan daya saingnya di pasar global.
Karakteristik Industri di Indonesia
Dengan karakteristik industri yang sangat beragam, upaya untuk menjelaskan organisasi industri di Indonesia perlu didukung oleh pemahaman karakteristik masing-masing industri secara individu. Mengingat jumlah industri yang sangat banyak, maka dalam kajian ini upaya untuk menganalisis industri manufaktur secara individual dilakukan terhadap delapan jenis industri, yang dipilih berdasarkan pangsa pasarnya yang besar (di atas 95%) terhadap keseluruhan total output industri. Kedelapan industri tersebut adalah 1) Industri Makanan dan Minuman, 2) Tekstil, 3) Kimia, 4) Karet dan Barang Plastik, 5) Logam Dasar, 6) Mesin Listrik, 7) Radio, Televisi dan Peralatan Telekomunikasi, dan 8) Kendaraan Bermotor.
Secara umum, struktur industri manufaktur di Indonesia diwarnai oleh tingkat konsentrasi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari tingkat rasio konsentrasi industri manufaktur di tahun 2006 (Tabel 3.3) , dimana terdapat sekitar 60% dari kelompok industri (berdasarkan KKI 5 digit) yang memiliki tingkat konsentrasi di atas 75%. Selain itu, hambatan masuk ke industri (entry barrier) untuk industri di Indonesia juga cukup tinggi. Hal ini didasarkan pada penghitungan Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) terhadap delapan industri dimana 86% memiliki nilai MES lebih besar dari 10% (Tabel 3.4).8 Menurut Alistair (2004), MES yang lebih besar dari 10% menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri, dimana pada skala ekonomi yang semakin besar akan semakin sulit bagi perusahaan baru untuk masuk ke industri tersebut.
Sementara itu, PCM (price-cost margin) yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja suatu industri, menunjukkan perkembangan yang cukup beragam. Dalam kajian ini, PCM yang merupakan selisih antara harga dan biaya marginal dihitung dari nilai tambah dikurangi biaya tenaga kerja dibagi output , atau secara matematis dapat ditulis :

dimana
VA : nilai tambah bersih (value-added)
Q : nilai output
IC : biaya antara (intermediate cost) yang terdiri dari seluruh biaya di luar biaya tenaga kerja, depresiasi, dan pajak tidak langsung
LC : biaya tenaga kerja (labor cost).

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan, PCM rata-rata (dari tahun 2000-2005) untuk kedelapan industri manufaktur menunjukkan perkembangan yang cukup bervariasi, namun secara rata-rata berada di sekitar angka 30%. PCM rata-rata periode 2000-2005 untuk kedelapan industri manufaktur berada dalam kisaran 10%-70%, dengan PCM tertinggi terdapat di Industri Kendaraan Bermotor dan terrendah terdapat di Industri Tekstil. Meskipun berada dalam kisaran yang cukup lebar, secara rata-rata PCM untuk kedelapan industri ini terkonsentrasi di sekitar angka 30%.
Sementara itu, berdasarkan penghitungan yang dilakukan terhadap PCM seluruh industri, terlihat bahwa pergerakan PCM berkorelasi cukup kuat dengan inflasi IHK manufaktur yaitu sekitar 80% (Grafik 3.4).10 Hal ini menunjukkan bahwa peran perilaku harga produsen cukup dominan dalam menjelaskan pergerakan harga di tingkat konsumen. Peran IHK manufaktur dalam IHK total juga cukup besar mengingat besarnya bobot barang-barang manufaktur dalam keranjang IHK.

Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur di Indonesia untuk menghadapi persaingan global :
1.      Program Pengembangan Standarisasi Nasional
Tujuan program ini adalah meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus barang dan jasa, dan menjadi sarana untuk melindungi industri dan konsumen dalam negeri, serta mengembangkan kerjasama antar negara dalam kerangka saling pengakuan (mutual recoqnition) baik bilateral maupun multilateral. Sasaran programnya adalah meningkatnya penyusunan dan penerapan SNI, meningkatnya kapasitas kelembagaan infrastruktur standardisasi, dan meningkatnya kerjasama standardisasi baik bilateral maupun multilateral, terutama ke negara tujuan ekspor utama.
Kegiatan pokok diarahkan untuk mendorong sekaligus memfasilitasi terjadinya perluasan (ekstensifikasi) dan perkuatan (intensifikasi) berbagai aktivitas ekonomi sektor produksi dan distribusi adalah untuk meningkatkan kualitas, mendorong produktivitas dan efisiensi di dalam sistem produksi, yang antara lain mencakup: (1) pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi melalui penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang pengukuran, standardisasi, pengujian dan mutu; (2) optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana litbang, pengakuan atas kualitas produk (SNI/ISO) dan pemberian insentif fiskal yang cermat dalam kegiatan produksi yang mendorong tumbuhnya iklim inovasi (padat teknologi), (3) mengembangkan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga litbang dan industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi korporasi usaha berbasis produk litbang; (4) mengembangkan kerjasama standardisasi di tingkat regional dan internasional (ACCSQ, APEC, WTO); (5) pengembangan sistem informasi standardisasi; (6) berperan aktif dalam berbagai forum dan organisasi bidang standardisasi internasional antara lain: ISO, IEC, CAC, PAC, APLAC, ILAC, IAF, BIPM, dan sebagainya; dan (7) menyediakan kebutuhan sarana dan prasarana operasional kelembagaan yang menangani kegiatan pengembangan standardisasi nasional.
2.      Perkuatan Daya Saing Industri Manufaktur
a.       Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah
Tujuan program ini adalah menjadikan industri kecil dan menengah (IKM) sebagai basis industri nasional. Agar dapat menjadi basis industri nasional, IKM dituntut mampu menghasilkan barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan mampu menepati jadwal penyerahan secara disiplin baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir maupun untuk memenuhi pasokan bagi industri yang lebih hilir. Secara alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi ketidakpastian pasar, mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumberdaya yang diperlukan. Sehingga untuk mencapai tujuan program ini, pemerintah akan membantu IKM dalam mengatasi permasalahan yang muncul akibat dari kelemahan alami tersebut. Ukuran keberhasilan program ini adalah jumlah perusahaan IKM yang mendapat kontrak pasokan dari industri hilir, memperoleh sertifikat kualitas, memperoleh kredit dari perbankan dengan prestasi pengembalian yang baik, serta yang berhasil tumbuh ke skala lebih besar.
b.      Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri
Upaya-upaya dalam program ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program dalam Bab 20 tentang Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam salah satu programnya yaitu Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan industridalam mencipta, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan teknologi baik dalam rancangan produk baru, proses produksi, maupun dalam sistem distribusi dan logistik perusahaan.
c.       Penataan Struktur Industri
Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki struktur industri nasional baik dalam hal konsentrasi penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Pada tahap awal pembangunan industri nasional, sumberdaya industri dan wiraswastawan industri masih sangat langka sehingga kebijakan nasional sangat permisif terhadap praktek-praktek monopoli.
Itu sebabnya hingga saat ini angka konsentrasi industri nasional termasuk sangat tinggi. Kondisi lain yang dihadapi industri nasional adalah tingginya ketidakpastian hubungan antara unit usaha. Kondisi ini mendorong industri tumbuh dengan pola yang sangat terintegrasi secara vertikal.
Untuk mewujudkan tujuan program ini dalam memperbaiki konsentrasi industri, pemerintah akan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pengelolaan korporasi yang baik dan benar (good corporate governance, GCG) secara sistematis dan konsisten, dan menurunkan besarnya hambatan masuk unit usaha baru ke pasar yang monopolistis.
Sedangkan untuk mewujudkan tujuan program ini dalam pembangunan jaringan pemasok industri hilir pemerintah akan meningkatkan kepastian hubungan antar unit usaha dengan antara lain membangun jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas (MSTQ, measurement, standardisasi, testing, and quality), jaringan informasi baik kebutuhan industri hilir maupun kemampuan industri pemasok yang handal dan akurat, jaringan promosi kemampuan industri pemasok, dan jaringan pendampingan pengelolaan bagi industri pemasok.
Ukuran keberhasilan program ini adalah (1) terbentuknya struktur penguasaan pasar yang makin sehat dan kompetitif; dan (2) terbangunnya klaster-klaster industri yang sehat dan kuat dengan jaringan industri pendukung setimpal dan sarana umum yang memadai.
Perlu pula ditingkatkan iklim persaingan secara sehat untuk mendorong perusahaan berkompetisi sehubungan dengan semakin ketatnya persaingan global. Dalam konteks ini, upayanya selaras dengan tujuan di dalam Program Persaingan Usaha.
d.      Peningkatan Kapasitas Infrastruktur
Dalam rangka mengantisipasi peningkatan utilitasi kapasitas, pertumbuhan investasi baru, penyebaran kegiatan industri ke luar Pulau Jawa, dan peningkatan basis produksi sektor ini di daerah-daerah perdesaan, percepatan pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting.
e.       Optimalisasi Administrasi dan Insentif Perpajakan
Selain program-program yang telah disebutkan di atas, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mencanangkan tiga langkah prioritas guna mendorong pertumbuhan industri manufaktur nasional. Pertama, mempertahankan peningkatan investasi di dalam negeri. Kedua, terus meningkatkan pola konsumsi masyarakat. Kemudian langkah ketiga, memacu ekspor. Industri manufaktur kita perlu melakukan efisiensi, restrukturisasi teknologi industri, pembenahan sistem regulasi, menerapkan langkah antisipasi terhadap kondisi perekonomian global, serta pemenuhan pasokan gas dan bahan baku untuk industri manufaktur nasional. Pemerintah juga harus fokus mendorong program akselerasi hilirisasi industri, terutama yang berbasis sumber daya alam (SDA) pertambangan dan mineral.

KESIMPULAN
            Industri manufaktur merupakan industri yang paling dominan di Indonesia dibandingkan dengan industri perdagangan dan industri jasa. Namun seiring dengan perkembangan zaman, industri manufaktur di Indonesia kini harus dihadapkan dan bersaing dalam persaingan global yang sangat ketat. Dalam menghadapi ketatnya persaingan global industri manufaktur di Indonesia harus memiliki strategi-strategi khusus dan kebijakan pengembangan industri manufaktur.
            Untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur tergantung dari kondisi struktural sektornya. Pada umumnya, struktur industri masih lemah. Sebagian besar industri nasional umumnya memiliki struktur industri yang dangkal. Sementara itu, peranan industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Prioritas pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan ditetapkan pada sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4) mengolah sumber alam dalam negeri.
            Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur di Indonesia untuk menghadapi persaingan global adalah dengan menciptakan program pengembangan industri kecil dan menengah serta menciptakan dan mengenmbangkan program peningkatan kemampuan teknologi industri, penataan struktur industri, peningkatan kapasitas infrastruktur, serta optimalisasi administrasi dan insentif perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA
www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8097/1653/