STRATEGI INDUSTRI MANUFAKTUR
DI INDONESIA
DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
Analisis Ilmiah
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Tugas Perekonomian Indonesia Kelas F
Dosen:
Achma Hendra
Setiawan, S.E., M.Si.
Drs. H. Edy
Yusuf Agung Gunanto, MSc. Ph.D.
Disusun
Oleh:
I Dewa Ayu Intan Pradnyadari 12030111120018
Amalia Nurul Iman 12030111130045
Julietta Sundalia 12030111130173
Debra Yulita Perwira 12030111140248
Wimala Nisitasari 12030111140262
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
USULAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
STRATEGI INDUSTRI
MANUFAKTUR DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
BIDANG
KEGIATAN:
PKM-AI
Disusun
Oleh:
I Dewa Ayu Intan Pradnyadari 12030111120018
Amalia Nurul Iman 12030111130045
Julietta Sundalia 12030111130173
Debra Yulita Perwira 12030111140248
Wimala Nisitasari 12030111140262
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
STRATEGI INDUSTRI
MANUFAKTUR DI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
Amalia Nurul Iman,
Debra Yulita Perwira, I Dewa Ayu Intan Pradnyadari, Julietta Sundalia, Wimala
Nisitasari
Jurusan Akuntansi.
Universitas Diponegoro, Semarang.
ABSTRACT
The existence of global industrial
competition makes manufacturing industries in Indonesia are now a lot of
difficulties because there is no protection of the Government. Therefore,
manufacturing industry in Indonesia must have specific strategies and policy
development of manufacturing industry. This research use secunder method with
30 random sample of manufacturing industry in Semarang City. Of research
obtained that there were several factors that make the manufacturing industry
in Indonesia has not been optimized and not ready in global competition, among
them high overhead costs; very high import content; the low quality of human
resources; as well as the lack of mastery of the technology. Manufacturing
industry in indonesia in the future is expected to create a variety of national
standardization development programme that can raise its competitiveness
national product, creating and apply a program to improve the ability of
industrial technology, management of the industrial structure, to increase the
capacity of infrastructure, optimalization the administration and incentives
taxation.
Key word: manufacturing industry, global competition,
technology.
ABSTRAK
Adanya
persaingan industri secara global membuat industri manufaktur di Indonesia kini
banyak mengalami kesulitan karena tidak diimbangin dengan perlindungan
pemerintah. Oleh karena itu industri manufaktur di Indonesia harus memiliki strategi-strategi
khusus dan kebijakan pengembangan industri manufaktur. Penelitian ini
menggunakan metode sekunder dengan menggunakan sampel acak 30 industri
manufaktur di kota Semarang. Dari penelitian ini diperoleh bahwa terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan industri manufaktur di Indonesia belum optimal
dan belum siap dalam menghadapi persaingan global, diantaranya biaya overhead
yang tinggi; kandungan impor yang sangat tinggi; rendahnya kualitas SDM; serta
kurangnya dalam penguasaan teknologi. Industri manufaktur di Indonesia ke
depannya diharapkan mampu menciptakan berbagai program pengembangan
standarisasi nasional yang dapat meningktakan daya saing produk nasional,
menciptakan dan menerapkan program peningkatan kemampuan teknologi industri,
penataan struktur industri, peningkatan kapasitas infrastruktur, serta
optimalisasi administrasi dan insentif perpajakan.
Kata kunci: industri manufaktur, persaingan global,
teknologi.
PENDAHULUAN
Industri
yang sering mendapatkan perhatian di Indonesia adalah industri manufaktur
karena jumlah industri ini paling dominan dibandingkan industri perdagangan
maupun industri jasa. Oleh karena itu industri ini diharapkan menjadi salah
satu sumber pembiayaan di pemerintah. Selain itu, industri manufaktur juga
menyerap banyak tenaga kerja sehingga angka pengangguran di Indonesia juga
semakin berkurang. Namun, perekonomian yang bersifat global menyebabkan
industri manufaktur dipaksa untuk bersaing dengan industri lain di luar negeri
tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Di satu pihak hal ini menguntungkan
karena dengan persaingan, industri di Indonesia akan semakin kreatif dalam
melakukan inovasi produk. Tapi di sisi lainnya, persaingan ini dapat merugikan
industri-industri kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Kurang kondusifnya
lingkungan usaha memiliki implikasi besar terhadap penurunan daya saing
ekonomi, terutama bagi sektor-sektor industri sebagai lapangan kesempatan kerja
utama dan sektor manufaktur yang merupakan salah satu motor bagi pertumbuhan
ekonomi. Menurut catatan World Economic Forum (WEF) tahun 2004,
posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke-69 dari 104 negara yang
diteliti. Posisi tersebut sesungguhnya telah naik dari urutan ke-72 pada tahun
sebelumnya. Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing di
kawasan ASEAN, posisi ini relatif lebih buruk. Sebagai contoh, Malaysia pada
tahun 2004 berada pada urutan ke-31 sedangkan Thailand berada di posisi ke-34.
Negara ASEAN yang posisi daya saingnya dibawah Indonesia adalah Filipina
(urutan ke-76) dan Vietnam (urutan ke-77). Adapun menurut catatan International Institute for Management Development (IMD) yang juga
menerbitkan World Competitiveness Report
2004, posisi Indonesia berada pada urutan ke-58 dari 60 negara yang
diteliti. Dari sejak tahun 2000, peringkat daya saing ekonomi Indonesia
berturut-turut turun dari posisinya ke-43 pada tahun 2000, urutan ke-46 pada
tahun 2001, urutan ke-47 pada tahun 2002, dan urutan ke-57 pada tahun 2003.
Peringkat Indonesia hanya berada diatas Argentina (59) dan Venezuela (60).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
industri di Indonesia mau tidak mau harus meningkatkan kemampuan bersaingnya
agar tidak kalah saing dengan industri asing, sehingga dibutuhkan
strategi-strategi khusus dan kebijakan pengembangan industri manufaktur. Selain
itu analisis industri dan persaingan juga diperlukan agar industri manufaktur ini
dapat tetap survive di tengah
kerasnya persaingan global. Caranya adalah melakukan inovasi-inovasi produk
berdasarkan ide-ide kreatif yang mereka miliki. Berkaitan dengan persaingan
tersebut, ada sejumlah permasalahan yang dihadapi, antara lain: (i) bagaimana
industri manufaktur di Indonesia menghadapi persaingan global yang semakin lama
semakin ketat, (ii) bagaimana profil daya inovasi industri manufaktur di
Indonesia dalam menanggapi kondisi yang sangat kompetitif ini.
TUJUAN
Berdasarkan
permasalahan diatas adapun tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini antara lain
menganalisis bagaimana industri manufaktur menghadapi persaingan global yang
semakin lama semakin ketat dan menganalisis bagaimana profil daya inovasi
industri manufaktur dalam menanggapi kondisi yang sangat kompetitif ini
Manfaat yang diharapkan
adalah sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri
manufaktur di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
bagi manajer, pemilik perusahaan, karyawan, dan pemerintah dalam menghadapi
persaingan global yang semakin ketat agar industri tersebut tidak kalah saing
dengan industri asing lainnya.
METODE
A. Tipe
Penelitian, Populasi dan Target Populasi
1. Tipe
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi.
Penelitian deskripsi adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
fenomena-fenomena yang ada. Baik fenomena yang terjadi secara alami maupun
fenomena yang terjadi karena buatan manusia.
2. Populasi
Penelitian
Populasi di penelitian ini adalah seluruh
perusahaan manufaktur di kota Semarang. Perusahaan manufaktur dipilih karena
perusahaan ini paling dominan di Indonesia dan menjadi roda penggerak kegiatan
ekonomi di Indonesia. Selain itu, perusahaan manufaktur juga paling banyak
menyerap tenaga kerja dibandingkan industri lainnya.
3. Sampel
Penelitian
Untuk sampel penelitian, kami menggunakan
sampling acak yaitu dengan memilih secara acak 30 perusahaan manufaktur di kota
Semarang. Pemilihan dengan acak ini agar memberikan kesempatan kepada semua anggota
populasi untuk terpilih menjadi sampel.
B. Kerangka
Konseptual
Dalam
menganalisis daya saing pada industri di Indonesia terhadap persaingan global,
diperlukan beberapa inovasi yang harus dilakukan. Yang pertama adalah inovasi
terhadap sumber daya dan komunikasi yang ada di perusahaan. Yang kedua adalah
toleransi terhadap kegagalan, risiko, konflik dan lain sebagainya. Sedangkan
yang ketiga adalah inovasi mengenai sumber daya manusia, keamanan kerja, dan
karyawan yang memiliki tingkat kreatifitas yang tinggi.
C.
Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai
tangan kedua). Data sekunder
umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang telah tersusun dalam
arsip (data dokumenter) baik yang dipublikasikan maupan yang tidak
dipublikasikan.
D.
Analisis Data
Analisis
data di penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama yang dilakukan
adalah tahap preliminary survey yang dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tujuan menggali
sebanyak-banyaknya fakta yang berkaitan dengan dengan strategi industri
manufaktur dalam menangani persaingan global. Tahap kedua adalah eksplorasi
yang dilakukan untuk mengenal dan mengelompokkan sekelompok indikator menjadi
faktor. Sedangkan tahap terakhir adalah tahap konfirmasi.
E. Jadwal
Kegiatan Penelitian
1. Tahap
desain instrumen penelitian (kerangka pemikiran) : minggu ke-1 bulan Mei 2014
2.
Tahap pencarian data:
studi dokumen, training surveyor, wawancara: minggu ke-1 sampai minggu ke-2
bulan Juni 2014
3.
Tahap analisis:
inputing data, analisis data, analisis penelitian dan pelaporan: minggu ke-3
bulan Juni 2014.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Dalam kurun waktu 1996-2006 jumlah
industri berskala sedang dan besar cenderung terus meningkat. Jumlah perusahaan
pada industri manufaktur secara keseluruhan sempat mengalami penurunan dalam
masa krisis 1997/1998, namun setelahnya secara bertahap cenderung meningkat
kembali. Dilihat dari skala usaha, sekitar 70% dari perusahaan yang ada
tersebut termasuk dalam kategori industri sedang. Selain itu, sejak tahun 2004
rasio perusahaan industri berskala besar terhadap keseluruhan jumlah industri
juga terus menurun, sejalan dengan semakin meningkatnya rasio industri sedang.
Bila dilihat dari komposisinya, industri makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, dan furnitur mendominasi jumlah perusahaan dalam industri.
Lebih dari 50% dari industri besar dan sedang adalah industri yang bergerak di
empat golongan industri tersebut.
Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang
dapat diserap, peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja
nasional memang masih relatif rendah (Tabel 3.1). Distribusi penyerapan tenaga
kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (41%) dan sektor jasa seperti
perdagangan (21%), pengangkutan (6%) dan jasajasa lain (12%). Sementara itu,
pangsa sektor industri manufaktur cenderung stagnan, dan bahkan cenderung
berada dalam tren menurun. Apabila dilihat dari nilai output yang dihasilkan
oleh keseluruhan industri manufaktur yang berskala besar dan sedang, secara
umum terlihat kinerja industri pascakrisis masih di bawah prakrisis. Rata-rata
pertumbuhan output pada periode prakrisis (1991-1995) mencapai sekitar 22%,
sementara pada periode pascakrisis (2002- 2006) baru mencapai sekitar 12%.
Dilihat dari pangsa terhadap keseluruhan nilai produksi, penyumbang terbesar
nilai output adalah industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, logam, karet dan barang plastik, serta industri kendaraan roda empat.
Apabila dilihat dari sisi nilai tambah,
gambaran yang diperoleh hampir serupa dengan perkembangan nilai output, dimana
pertumbuhan nilai tambah periode pascakrisis masih lebih rendah dari
pertumbuhan prakrisis.5 Dilihat dari jenis industrinya, penyumbang terbesar
dalam nilai tambah adalah industri makanan dan minuman, tembakau, tekstil, kertas, dan industri bahan kimia.
Gambaran kinerja
industri manufaktur untuk kawasan Asia Timur dapat diperhatikan dalam tabel
berikut ini.
Kinerja Industri
Manufaktur Kawasan Asia Timur 1980 – 2000
(dalam
peringkatnya dari 93 negara di dunia)
No.
|
Negara
|
Tahun 2000
|
Tahun 1990
|
Tahun 1980
|
1
|
Singapura
|
1
|
1
|
2
|
2
|
Taiwan
|
9
|
15
|
18
|
3
|
Korea
Selatan
|
10
|
18
|
23
|
4
|
Malaysia
|
15
|
23
|
40
|
5
|
Thailand
|
23
|
32
|
47
|
6
|
Cina
|
24
|
26
|
39
|
7
|
Filipina
|
25
|
43
|
42
|
8
|
Hongkong,
SAR
|
27
|
20
|
16
|
9
|
Indonesia
|
38
|
54
|
75
|
11
|
Fiji
– Pasifik
|
68
|
61
|
52
|
12
|
Papua
New Guinea
|
82
|
76
|
80
|
Sumber: UNIDO, Industri Development Report 2004
Gambaran yang
diungkapkan oleh UNIDO memang baru sampai pada tahun 2000. Memperhatikan perkembangan
kondisi perekonomian dan terpuruknya kegiatan sektor produksi, kemungkinan
besar peringkat sektor industri manufaktur di Indonesia kembali turun setelah
tahun 2000. Memang, perbaikan dalam kondisi ekonomi makro telah terjadi sejak
dua tahun terakhir, namun prestasi
di atas belum cukup membawa ke arah pemulihan aktivitas sektor produksi,
terutama manufaktur ke tataran sebelum krisis apalagi mendongkrak peningkatan
daya saingnya.
Dalam periode 1980-2000
kinerja industri manufaktur Indonesia dikategorikan sebagai salah satu pemenang
utama (main winner) bersama-sama
dengan beberapa negara negara berkembang lain yang kebanyakan dari kawasan Asia
Timur. Dalam periode dua dekade tersebut, kawasan Asia Timur memang merupakan
kawasan yang disebut sebagai mesin pertumbuhan bagi peningkatan peran negara
berkembang dalam pengembangan industri manufaktur. Di antara negara-negara
berkembang, Cina adalah pemenang nomor wahid. Sementara itu, peringkat kinerja
industri manufaktur Indonesia memang meningkat dari urutan ke-75 pada tahun
1980, menjadi urutan ke-54 pada tahun 1990, dan urutan ke-38 pada tahun 2000.
Namun demikian, dibandingkan dengan beberapa negara pesaing utama di Asia Timur
(termasuk ASEAN), posisi Indonesia memang relatif terpuruk.
Terpuruknya daya saing
tersebut merupakan akibat dari berbagai faktor. Menurut tolak ukur WEF, diidentifikasi 5 (lima) faktor
penting yang menonjol. Pada tataran makro, terdapat 3 (tiga) faktor, yaitu: (a)
tidak kondusifnya kondisi ekonomi makro; (b) buruknya kualitas kelembagaan
publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan
(c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasikebutuhan
peningkatan produktivitas. Sementara itu, pada tataran mikro atau tataran
bisnis, 2 (dua) faktor yang menonjol adalah: (a) rendahnya efisiensi usaha pada
tingkat operasionalisasi perusahaan; dan (b) lemahnya iklim persaingan dalam
rangka dalam rangka menciptakan tekanan kompetisi secara sehat.
Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing
Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4
(empat) hal pokok, yaitu: (a) buruknya kinerja perekonomian nasional yang
tercermin dalam kinerjanya di perdagangan internasional, investasi,
ketenagakerjaan, dan stabilitas harga, (b) buruknya efisiensi kelembagaan
pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan
kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim
usaha kondusif, lemahnya koordinasi akibat kerangka institusi publik yang masih
banyak tumpang tindih, dan kompleksitas struktur sosialnya,
(c) lemahnya efisiensi usaha dalam
mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang
tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang
belum optimal, akses ke sumberdaya keuangan yang masih rendah, serta praktik
dan nilai manajerial yang relatif belum profesional, dan (d) keterbatasan di
dalam infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan infrastruktur
dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Dalam rentang waktu
yang lebih lama, United Nations
Industrial Development Organization (UNIDO) mengembangkan indikator Competitiveness Industrial Performance (CIP)
yang kemudian diterapkan untuk mengukur peringkat daya saing sektor industri
manufaktur pada terutama 93 negara dalam periode 1980 - 2000. Dalam Industrial Development Report 2004,
ukuran indikator CIP tersebut terdiri
dari 4 (empat) variabel utama, yaitu: (a) nilai tambah industri manuktur per
kapita, (b) ekspor industri manufaktur per kapita, (c) insensitas
industrialisasi yang diukur dari kontribusi industri manufaktur pada PDB dan
kontribusi industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi pada sektor
industri manufaktur, dan (d) kualitas eskpor yang diukur dari kontribusi ekspor
manufaktur dalam total ekspor dan kontribusi manufaktur berteknologi menengah
dan tinggi dalam nilai ekspor industri manufaktur.
Di dalam
negeri, produk manufaktur seperti elektronika rumah tangga kalah bersaing
dengan produk impor, baik yang legal apalagi yang tidak legal. Di pasar
internasional, produk tekstil (TPT) dan produk kayu yang sesungguhnya masih
menjadi primadoma eskpor kalah bersaing dengan produk dari Cina dan negara
ASEAN lainnya. Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah
satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi,
dari hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita
diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan
Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana
biaya overhead mencapai 33.37 dan
biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.
Penelaahan terhadap
tingginya kedua pos pembiayaan di atas menyimpulkan beberapa permasalahan
spesifik di sektor industri manufaktur, yaitu sebagai berikut:
a.
KKN dan layanan
umum yang buruk mengakibatkan tingginya biaya overhead. Menurut kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD), pengeluaran untuk berbagai pungutan dan untuk biaya buruknya layanan
umum menambah biaya overhead sekitar
8.7 persen - 11.2 persen.
b.
Cost of money yang
relatif tinggi. Banyak pengusaha masing menganggap tingkat suku bunga saat ini
sangat tinggi. Pengusaha dalam negeri yang mengandalkan perbankan dalam negeri
akan kalah bersaing dengan perusahaan yang modal kerjanya dari luar negeri yang
bunganya berkisar 4 – 6 persen.
c.
Administrasi
perpajakan yang belum optimal. Pengusaha
menganggap administrasi perpajakan terutama dalam kaitannya dengan restitusi
produk-produk industri ekspor sangat tidak efisien. Hal tersebut mengakibatkan
daya saing produk ekspor menjadi berkurang karena pengusaha pada akhirnya
membebankan ke harga jualnya. Selain itu, hal tersebut juga tidak kondusif
untuk integrasi antar industri terkait untuk pengadaan bahan antaranya. Pada
umumnya mereka memilih untuk impor bahan baku atau produk antara karena sejak
awal tidak berurusan dengan PPN 10 persen.
d.
Kandungan impor
sangat tinggi. Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari
28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk
industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen,
sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai
lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya
biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah
yang mengalir pada perekonomian domestik.
e.
Lemahnya
penguasaan dan penerapan teknologi. Nilai tambah industri nasional relatif
rendah, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik industri manufaktur masih
banyak tipe “tukang jahit,” seskipun dalam komposisi ekspor telah diamati mulai
adanya peningkatan proporsi produk ekspor berteknologi menengah dan tinggi.
Kehadiran foreign direct investment
(FDI) yang mempunyai potensi sebagai basis untuk alih teknologi belum dapat
dimanfaatkan.
f.
Kualitas SDM
relatif rendah. Dari hampir 4,2 juta orang tenaga kerja industri dalam 22.894
perusahaan pada tahun 1996, hanya 2 persen atau berpendidikan sarjana, sekitar
0,1 persen berpendidikan master, dan hanya 225 orang berpendidikan doktor.
Sementara itu, intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh industri belum juga
menggembirakan. Hasil survei tahun 1990-an menunjukkan hanya 18,9 persen
perusahaan di Indonesia melaksanakannya. Di Malaysia, kegiatan yang sama
dilakukan oleh hampir 84 persen perusahaan-perusahaannya. SDM dengan kualitas
ini akan sulit diharapkan menghasilkan peningkatan produktivitas yang dituntut
apalagi inovasi-inovasi yang bermutu untuk teknologi produksinya.
g.
Iklim persaingan
yang kurang sehat. Banyak sub-sektor industri yang beroperasi dalam kondisi
mendekati ”monopoli”. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya indeks konsentrasi
untuk dua perusahaan (CR2). Pada tahun 2002, lebih dari 50 persen kelompok
usaha industri memiliki angka diatas 0,50 dan banyak kelompok industri yang
angka konsentrasi yang makin besar. Beberapa contoh adalah pada industri tepung
terigu, rokok putih, dan kendaraan roda 2. Keadaan ini menyebabkan insentif
untuk penurunan biaya produksi menjadi kecil.
Peningkatan
daya saing industri manufaktur juga tergantung dari kondisi struktural
sektornya. Pada umumnya, struktur industri masih lemah. Sebagian besar industri
nasional umumnya memiliki struktur industri yang dangkal. Sementara itu, peranan industri kecil dan menengah
(termasuk RT) masih minim. Industri berskala menengah (20-99 orang tenaga
kerja), berskala kecil (5-19 orang tenaga kerja), dan industri rumah tangga (1
– 4 orang tenaga kerja) mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja manufaktur di
Indonesia. Namun demikian, segmen industri ini menyumbang hanya 5-6 persen dari
total nilai tambah manufaktur. Industri kecil dan menengah terkonsentrasi di
sub-sektor makanan dan kayu. Industri-industri pada segmen ini umumnya melayani
konsumer akhir atau memproduksi komponen untuk ”after sales market”, dengan segmen kelas terendah. Sangat sedikit
diantara mereka yang memproduksi bahan baku dan/atau barang intermediate serta memasoknya ke
industri hilir. Dengan kondisi ini, industri kecil dan menengah di Indonesia
belum berada dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala
besar.
Pada tingkat makro,
peningkatan kinerja daya saing industri manufaktur secara berkelanjutan
membutuhkan landasan ekonomi yang kuat melalui terutama upaya menjaga
stabilitas ekonomi makro serta perwujudan iklim usaha dan investasi yang sehat.
Kondisi tersebut akan memfasilitasi terciptanya inovasi dan peningkatan
produktivitas serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih luas
dan dapat dijangkau sampai pada segmen sektor industri manufaktur yang kecil
sekalipun.
Dalam tataran mikro,
meminjam identifikasi UNIDO, 4
(empat) faktor utama yang perlu diperhatikan di dalam meningkatkan kinerja daya
saing sektor industri manufaktur adalah: (a) kemampuan (ketrampilan) SDM, (b)
penguasaan dan penerapan teknologi, (c) aliran masuk FDI sebagai potensi sumber
alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, dan (d) kapasitas infrastruktur
(termasuk infrastruktur bagi pengembangan teknologi). Keempat faktor di atas
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai kebijakan dan program
yang dirumuskan dalam Bab-Bab yang terkait.
Dalam lima tahun mendatang, arah pengembangan sektor
industri manufaktur adalah mendorong terwujudnya peningkatan utilitasi
kapasitas; memperluas basis usaha dengan penyederhanaan prosedur perijinan dan
penyelenggaraan usaha untuk peningkatan peran industri kecil dan menengah;
meningkatkan iklim persaingan yang sehat dan berkeadilan; memperluas penerapan
standarisasi produk industri; dan mendorong perkuatan struktur industri pada
sub-sektor yang memiliki potensi keuntungan kompetitif ke depan.
Dengan
semakin ketatnya persaingan global dan semakin pesat dan spesifiknya
perkembangan teknologi, kualitas kebijakan industri dituntut lebih baik dan
lebih tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan rumusan strategis dan
kebijakan pengembangan industri manufaktur pada tingkat sub-sektor. Sesuai
dengan permasalahan yang mendesak dihadapi serta terbatasnya kemampuan
sumberdaya, prioritas pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan
ditetapkan pada sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih
kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi
kebutuhan dasar dalam negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4)
mengolah sumber alam
dalam negeri. Langkah-langkah intervensi pada tingkat sub-sektor tetap bersifat
fungsional sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya.
Pola
pengembangan jaringan produksinya didekati dengan menggunakan unit analisis
klaster industri. Adapun untuk masing-masing sub-sektor industrinya, penanganan
isunya diprioritaskan pada upaya: (1) merevitalisasi kinerja sub-sektor
industrinya, khususnya peningkatan utilitas kapasitas terpasang hingga 80
persen; (2) memperkuat struktur industri, termasuk di dalamnya pemberdayaan
sumberdaya industri; (3) memperluas basis produksi, baik dengan mendorong
terciptanya investasi baru maupun mendorong pengembangan industri skala
kecil-menengah; serta (4) mempertahankan dan bila mungkin bahkan meningkatkan
daya saingnya di pasar global.
Karakteristik Industri di Indonesia
Dengan karakteristik industri yang
sangat beragam, upaya untuk menjelaskan organisasi industri di Indonesia perlu
didukung oleh pemahaman karakteristik masing-masing industri secara individu.
Mengingat jumlah industri yang sangat banyak, maka dalam kajian ini upaya untuk
menganalisis industri manufaktur secara individual dilakukan terhadap delapan
jenis industri, yang dipilih berdasarkan pangsa pasarnya yang besar (di atas
95%) terhadap keseluruhan total output industri. Kedelapan industri tersebut
adalah 1) Industri Makanan dan Minuman, 2) Tekstil, 3) Kimia, 4) Karet dan
Barang Plastik, 5) Logam Dasar, 6) Mesin Listrik, 7) Radio, Televisi dan
Peralatan Telekomunikasi, dan 8) Kendaraan Bermotor.
Secara umum, struktur industri
manufaktur di Indonesia diwarnai oleh tingkat konsentrasi yang cukup tinggi.
Hal ini terlihat dari tingkat rasio konsentrasi industri manufaktur di tahun
2006 (Tabel 3.3) , dimana terdapat sekitar 60% dari kelompok industri
(berdasarkan KKI 5 digit) yang memiliki tingkat konsentrasi di atas 75%. Selain
itu, hambatan masuk ke industri (entry barrier) untuk industri di Indonesia
juga cukup tinggi. Hal ini didasarkan pada penghitungan Nilai Minimum
Efficiency Scale (MES) terhadap delapan industri dimana 86% memiliki nilai MES
lebih besar dari 10% (Tabel 3.4).8 Menurut Alistair (2004), MES yang lebih
besar dari 10% menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri,
dimana pada skala ekonomi yang semakin besar akan semakin sulit bagi perusahaan
baru untuk masuk ke industri tersebut.
Sementara itu, PCM (price-cost margin)
yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kinerja suatu industri,
menunjukkan perkembangan yang cukup beragam. Dalam kajian ini, PCM yang
merupakan selisih antara harga dan biaya marginal dihitung dari nilai tambah
dikurangi biaya tenaga kerja dibagi output , atau secara matematis dapat
ditulis :
dimana
VA : nilai tambah bersih (value-added)
Q : nilai output
IC : biaya antara (intermediate cost) yang
terdiri dari seluruh biaya di luar biaya tenaga kerja, depresiasi, dan pajak
tidak langsung
LC : biaya tenaga kerja (labor cost).
Berdasarkan penghitungan yang
dilakukan, PCM rata-rata (dari tahun 2000-2005) untuk kedelapan industri
manufaktur menunjukkan perkembangan yang cukup bervariasi, namun secara
rata-rata berada di sekitar angka 30%. PCM rata-rata periode 2000-2005 untuk
kedelapan industri manufaktur berada dalam kisaran 10%-70%, dengan PCM
tertinggi terdapat di Industri Kendaraan Bermotor dan terrendah terdapat di
Industri Tekstil. Meskipun berada dalam kisaran yang cukup lebar, secara
rata-rata PCM untuk kedelapan industri ini terkonsentrasi di sekitar angka 30%.
Sementara itu, berdasarkan penghitungan
yang dilakukan terhadap PCM seluruh industri, terlihat bahwa pergerakan PCM
berkorelasi cukup kuat dengan inflasi IHK manufaktur yaitu sekitar 80% (Grafik
3.4).10 Hal ini menunjukkan bahwa peran perilaku harga produsen cukup dominan
dalam menjelaskan pergerakan harga di tingkat konsumen. Peran IHK manufaktur
dalam IHK total juga cukup besar mengingat besarnya bobot barang-barang
manufaktur dalam keranjang IHK.
Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing
industri manufaktur di Indonesia untuk menghadapi persaingan global :
1. Program
Pengembangan Standarisasi Nasional
Tujuan
program ini adalah meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus
barang dan jasa, dan menjadi sarana untuk melindungi industri dan konsumen
dalam negeri, serta mengembangkan kerjasama antar negara dalam kerangka saling
pengakuan (mutual recoqnition) baik
bilateral maupun multilateral. Sasaran programnya adalah meningkatnya
penyusunan dan penerapan SNI, meningkatnya kapasitas kelembagaan infrastruktur
standardisasi, dan meningkatnya kerjasama standardisasi baik bilateral maupun
multilateral, terutama ke negara tujuan ekspor utama.
Kegiatan
pokok diarahkan untuk mendorong sekaligus memfasilitasi terjadinya perluasan
(ekstensifikasi) dan perkuatan (intensifikasi) berbagai aktivitas ekonomi
sektor produksi dan distribusi adalah untuk meningkatkan kualitas, mendorong
produktivitas dan efisiensi di dalam sistem produksi, yang antara lain
mencakup: (1) pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi melalui
penelitian, pengkajian, dan pengembangan di bidang pengukuran, standardisasi,
pengujian dan mutu; (2) optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana litbang,
pengakuan atas kualitas produk (SNI/ISO) dan pemberian insentif fiskal yang
cermat dalam kegiatan produksi yang mendorong tumbuhnya iklim inovasi (padat
teknologi), (3) mengembangkan pola insentif dalam bentuk kemitraan lembaga
litbang dan industri, sosialisasi standar mutu terhadap IKM, asuransi teknologi
korporasi usaha berbasis produk litbang; (4) mengembangkan kerjasama
standardisasi di tingkat regional dan internasional (ACCSQ, APEC, WTO); (5)
pengembangan sistem informasi standardisasi; (6) berperan aktif dalam berbagai
forum dan organisasi bidang standardisasi internasional antara lain: ISO, IEC,
CAC, PAC, APLAC, ILAC, IAF, BIPM, dan sebagainya; dan (7) menyediakan kebutuhan
sarana dan prasarana operasional kelembagaan yang menangani kegiatan
pengembangan standardisasi nasional.
2.
Perkuatan Daya Saing
Industri Manufaktur
a. Program
Pengembangan Industri Kecil dan Menengah
Tujuan program ini
adalah menjadikan industri kecil dan menengah (IKM) sebagai basis industri
nasional. Agar dapat menjadi basis industri nasional, IKM dituntut mampu
menghasilkan barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dan
mampu menepati jadwal penyerahan secara disiplin baik untuk memenuhi kebutuhan
konsumen akhir maupun untuk memenuhi pasokan bagi industri yang lebih hilir.
Secara alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi ketidakpastian pasar,
mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumberdaya yang diperlukan. Sehingga untuk
mencapai tujuan program ini, pemerintah akan membantu IKM dalam mengatasi
permasalahan yang muncul akibat dari kelemahan alami tersebut. Ukuran
keberhasilan program ini adalah jumlah perusahaan IKM yang mendapat kontrak
pasokan dari industri hilir, memperoleh sertifikat kualitas, memperoleh kredit
dari perbankan dengan prestasi pengembalian yang baik, serta yang berhasil
tumbuh ke skala lebih besar.
b. Program
Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri
Upaya-upaya
dalam program ini selaras dengan berbagai kebijakan dan program dalam Bab 20
tentang Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam salah satu
programnya yaitu Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi. Tujuan
dari program ini adalah meningkatkan kemampuan industridalam mencipta,
mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan teknologi baik dalam rancangan
produk baru, proses produksi, maupun dalam sistem distribusi dan logistik
perusahaan.
c. Penataan
Struktur Industri
Tujuan program ini
adalah untuk memperbaiki struktur industri nasional baik dalam hal konsentrasi
penguasaan pasar maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan
bahan pendukung, komponen, dan barang setengah-jadi bagi industri hilir. Pada
tahap awal pembangunan industri nasional, sumberdaya industri dan wiraswastawan
industri masih sangat langka sehingga kebijakan nasional sangat permisif
terhadap praktek-praktek monopoli.
Itu sebabnya hingga
saat ini angka konsentrasi industri nasional termasuk sangat tinggi. Kondisi
lain yang dihadapi industri nasional adalah tingginya ketidakpastian hubungan
antara unit usaha. Kondisi ini mendorong industri tumbuh dengan pola yang
sangat terintegrasi secara vertikal.
Untuk mewujudkan tujuan
program ini dalam memperbaiki konsentrasi industri, pemerintah akan melakukan
upaya-upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pengelolaan korporasi yang
baik dan benar (good corporate
governance, GCG) secara sistematis dan konsisten, dan menurunkan besarnya
hambatan masuk unit usaha baru ke pasar yang monopolistis.
Sedangkan untuk
mewujudkan tujuan program ini dalam pembangunan jaringan pemasok industri hilir
pemerintah akan meningkatkan kepastian hubungan antar unit usaha dengan antara
lain membangun jaringan pengukuran, standardisasi, pengujian, dan kualitas
(MSTQ, measurement, standardisasi,
testing, and quality), jaringan informasi baik kebutuhan industri hilir
maupun kemampuan industri pemasok yang handal dan akurat, jaringan promosi
kemampuan industri pemasok, dan jaringan pendampingan pengelolaan bagi industri
pemasok.
Ukuran keberhasilan
program ini adalah (1) terbentuknya struktur penguasaan pasar yang makin sehat
dan kompetitif; dan (2) terbangunnya klaster-klaster industri yang sehat dan
kuat dengan jaringan industri pendukung setimpal dan sarana umum yang memadai.
Perlu pula ditingkatkan
iklim persaingan secara sehat untuk mendorong perusahaan berkompetisi
sehubungan dengan semakin ketatnya persaingan global. Dalam konteks ini,
upayanya selaras dengan tujuan di dalam Program Persaingan Usaha.
d. Peningkatan
Kapasitas Infrastruktur
Dalam rangka mengantisipasi peningkatan utilitasi
kapasitas, pertumbuhan investasi baru, penyebaran kegiatan industri ke luar
Pulau Jawa, dan peningkatan basis produksi sektor ini di daerah-daerah
perdesaan, percepatan pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting.
e. Optimalisasi
Administrasi dan Insentif Perpajakan
Selain program-program yang telah disebutkan di atas, Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) telah mencanangkan tiga langkah prioritas guna
mendorong pertumbuhan industri manufaktur nasional. Pertama, mempertahankan
peningkatan investasi di dalam negeri. Kedua, terus meningkatkan pola konsumsi
masyarakat. Kemudian langkah ketiga, memacu ekspor. Industri manufaktur kita
perlu melakukan efisiensi, restrukturisasi teknologi industri, pembenahan
sistem regulasi, menerapkan langkah antisipasi terhadap kondisi perekonomian
global, serta pemenuhan pasokan gas dan bahan baku untuk industri manufaktur
nasional. Pemerintah juga harus fokus mendorong program akselerasi hilirisasi
industri, terutama yang berbasis sumber daya alam (SDA) pertambangan dan
mineral.
KESIMPULAN
Industri manufaktur merupakan
industri yang paling dominan di Indonesia dibandingkan dengan industri
perdagangan dan industri jasa. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
industri manufaktur di Indonesia kini harus dihadapkan dan bersaing dalam
persaingan global yang sangat ketat. Dalam menghadapi ketatnya persaingan
global industri manufaktur di Indonesia harus memiliki strategi-strategi khusus
dan kebijakan pengembangan industri manufaktur.
Untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur tergantung dari
kondisi struktural sektornya. Pada umumnya, struktur industri masih lemah. Sebagian besar industri nasional umumnya
memiliki struktur industri yang dangkal. Sementara itu, peranan industri kecil dan menengah (termasuk RT) masih minim. Prioritas
pengembangan sub-sektor industri dalam lima tahun kedepan ditetapkan pada
sub-sektor industri manufaktur yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai
berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja; (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam
negeri; (3) memiliki potensi pengembangan ekspor; dan (4) mengolah sumber
alam dalam negeri.
Hal-hal yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri
manufaktur di Indonesia untuk menghadapi persaingan global
adalah dengan menciptakan program pengembangan industri kecil dan menengah
serta menciptakan dan mengenmbangkan program peningkatan kemampuan teknologi
industri, penataan struktur industri, peningkatan kapasitas infrastruktur,
serta optimalisasi administrasi dan insentif perpajakan.
DAFTAR
PUSTAKA
www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8097/1653/